Kebijakan BMAD Dikhawatirkan Picu Gelombang PHK Industri Tekstil, Ekonom Ichsanuddin Beri Kritik
Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy meminta pemerintah tak perlu terlalu egois memikirkan peningkatan tax ratio dengan kebijakan-kebijakan yang justru menyusahkan masyarakat.
Hal ini disampaikan Ichsanuddin Noorsy menanggapi wacana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY). Dimana wacana ini dikhawatirkan berdampak buruk pada industri tekstil dalam negeri, salah satunya adalah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Pemerintah egois. Pemerintah hanya memikirkan meningkatnya tax ratio kan itu poinnya,” kata Ichsanuddin Noorsy ketika dikonfirmasi.
Menurut Ichsanuddin pengenaan BMAD bakal membuat skema struktur biaya dirombak ulang yang berimbas pada kenaikan harga jual di tengah daya beli yang sedang lesu. Hal ini menjadi ancaman serius bagi industri tekstil Tanah Air, mereka terancam gulung tikar karena hasil produksi terancam tak laku di pasaran.
“Ya cari jalan keluarnya kan. Jalan keluarnya satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Kalau restrukturisasi biaya, anti-dumping tetap diterapkan. Yang paling gampang, ya PHK,” ujarnya.
Ichsanuddin melanjutkan, BMAD terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn dan Drawn Textured Yarn adalah penerapan fiskal pajak yang tidak adil, pemerintah terkesan secara sengaja memiskinkan orang miskin dengan memajaki seluruh aspek transaksi kehidupan dan transaksi ekonomi, namun disaat yang bersamaan pemerintah justru memberi keringanan pajak pada pihak tertentu.
Baca Juga: SAPX Express Dukung Permen Kominfo No. 8/2025, Tolak Perang Tarif Kurir yang Rugikan Industri
Baginya, industri tekstil tidak bisa dipajaki secara sewenang-wenang sebab ia adalah industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Karena sesungguhnya tekstil adalah hajat hidup orang banyak. Sandang itu hajat hidup orang banyak, dia tidak bisa sepenuhnya dilepas ke pasar. Yang bisa dilepas ke pasar itu hanya industri dari kain ke distribusi, ke garmen. Di garmen pun ada lagi yang nggak bisa dilepas ke pasar. Jadi tidak semuanya. Di sini ketinggalan jamannya, di sini ketinggalan jamannya pemerintah Republik Indonesia,” tegasnya.
Ichsanuddin menegaskan, sistem pajak yang diberlakukan pemerintah Indonesia sudah usang dan ketinggalan jaman. Di negara-negara lain kata dia mereka memandang industri tekstil sebagai industri sandang, mereka benar-benar melindungi industri ini dengan memberi berbagai keringan pajak, itu kontradiktif dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
“Kalau ngelihat kebijakan Jepang, kebijakan India, Pakistan, India, Bangladesh, Vietnam, Inggris, dan Amerika sendiri, mereka masih bicara full perlindungan industri tekstil mereka dengan baik. Tapi tidak dengan tegas-tegas melakukan perlindungan. Karena kata kuncinya adalah mereka masih melihat industri tekstil sebagai industri sandang itu,” ucapnya.
Sebelum badai PHK itu benar-benar membenamkan industri tekstil dalam negeri, kata Ichsanuddin, pemerintah sebetulnya masih punya satu kesempatan melakukan pembenahan menyeluruh.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Tolak Usulan BMAD untuk Jaga Industri Tekstil Dalam Negeri dan Antisipasi PHK
Menurutnya, cara pandang pemerintah terkait peningkatan tax ratio tak harus terpaku pada BMAD, masih banyak sumber pajak yang lebih menjanjikan jika digarap dengan dengan sungguh-sungguh. Dia menegaskan pemasukan pajak yang seret sekarang ini disebabkan oleh pemerintah yang tak mampu menumpas kejahatan pajak yang dilakukan korporasi besar baik di dalam maupun luar negeri. Baginya hal ini harus segera dituntaskan.
“Pemerintah tidak mampu mengatasi kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar baik domestik maupun luar negeri. Nah, artinya penyelesaian peningkatan perpajakan tidak bisa hanya bicara anti-dumping. Coba lihat dulu kebijakan pelaksanaan dan pengawasan perpajakannya sudah benar atau belum,” katanya.
“Kan saya bilang kebijakan perpajakannya fiskalnya itu masih, bahasa saudara-saudara saya, kebijakan fiskalnya itu masih tidak adil. Memiskinkan orang miskin, memperkaya orang kaya gitu kebijakan fiskalnya. Nah, ketika ditempatkan pada anti-dumping, dia tidak fair pada struktur industri,” tambahnya memungkasi.
(责任编辑:探索)
- IHSG Jeda Siang Nanjak 0,43% ke Level 7.171, PGEO, BRPT dan KLBF Top Gainers LQ45
- 7 Buah yang Paling Tinggi Gula, Batasi Konsumsinya
- Pemprov DKI Diminta Waspadai Pendatang Saat Arus Balik yang Berpotensi Tingkatkan Permukiman Kumuh
- APBN Utamakan Keputusan Politik, Pengamat Tidak Yakin Pembatasan BBM Bisa Berjalan Efektif
- Segera ke RS, Kunci Mengenali Gejala Stroke
- Daftar Warna yang Bawa Keberuntungan di Tahun 2025
- 3 Keanehan yang Dibongkar Jonathan Latumahina Ayah David Ozora di Sidang Mario Dandy
- Ada 29 Perusahaan Antre IPO, 9 Diantaranya Merupakan Perusahaan Besar!
- Jangan Senang Dulu, Masih Ada Banyak Hal yang Belum Dituntaskan Anies Baswedan sebagai Gubernur
- Trem Otonom Segera Hadir di IKN, Menhub: Akhir Juli Datang, Agustus Beroperasi
- Ada Gibran hingga Ridwan Kamil, Ini 9 Cagub DKI Hasil Survei Sepekan PSI
- Tembus Rp796 triliun, Portofolio Sustainable Financing BRI jadi yang Terbesar di Indonesia
- Soal Nasib Sumur Resapan Pasca Anies Lengser, Wagub Riza: Kami Tak Ingin Intervensi Pj Gubernur
- Pemprov DKI Diminta Waspadai Pendatang Saat Arus Balik yang Berpotensi Tingkatkan Permukiman Kumuh
- Surya Paloh Buka Suara Peluang Koalisi 1 dan 3
- RI–Thailand Sepakati Kerjasama Kesehatan, Prabowo: Penting untuk Antisipasi Kemungkinan Pandemi Baru
- Desa BRILiaN ini Sukses Kembangkan Pariwisata Alam dan Agrikultur, Intip Ceritanya
- Lupa Tutup Pintu, Penjaga Kebun Binatang Tewas Diserang Harimau
- 2 HP Jurnalis Raib Digondol Maling Saat Main Futsal di Kebon Jeruk
- Tembus Rp796 triliun, Portofolio Sustainable Financing BRI jadi yang Terbesar di Indonesia